Prof Deddy Tikson Soroti Warisan Kolonialisme di Negara Berkembang
axel wiryanto
Selasa, 23 April 2024 00:19 am
dibaca 25 kali

MAKASSAR, BKM — Laboratorium Riset Kebijakan dan Manajemen Publik, Departemen Ilmu Administrasi FISIP Unhas menggelar kuliah umum dengan tema Colonialism Legacy of Developing Countries melalui platform zoom meeting. Acara yang dihadiri lebih 100 peserta dari kalangan mahasiswa sarjana, pascasarjana, dan masyarakat umum ini berlangsung, Jumat (19/4).

Kuliah umum ini menghadirkan Prof (Emeritus) Deddy T Tikson, M.Sc., Ph.D., seorang Guru Besar dari Universitas Hasanuddin sebagai narasumber utama. Diskusi dimoderatori oleh Dr. Ishak Salim, S.IP., M.A, dosen Administrasi Publik di Fisip Unhas.

Dalam kuliah umum tersebut, Prof Tikson memberikan pemaparan yang mendalam mengenai warisan kolonialisme dan imperialisme di negara-negara berkembang. Ia menyoroti dampak dari warisan kolonialisme, seperti sejumlah sarana infrastruktur transportasi, baik jalan raya, jalan kereta dan sistem perkeretaapian, bangunan perkantoran maupun rumah-rumah dan bahkan istana kolonial, perkebunan karet, teh, berikut pabrik-pabrik serta sistem birokrasi.
Selain itu, ia juga membahas kapitalisme dalam perspektif Karl Marx, menjelaskan tentang eksploitasi dalam sistem kapitalisme kolonial, serta dampak dari imperialisme yang dilakukan oleh negara kapitalis-modern atau penjajah terhadap negara petani-tradisional dalam rangka memperoleh sumber daya alam dengan murah dan eksploitatif.

Pada kesempatan tersebut, Prof Deddy Tikson menyoroti peran teori pembangunan dalam kemajuan negara pascakolonial, dengan memberikan contoh konkret seperti penerapan teori “Dependent State” Peter Evans dan “Bringing State Back in” dari ilmuwan politik Theda Skocpol.
Ditegaskan oleg Prof Deddy Tikson, negara-negara berkembang yang mengadopsi teori pembangunan tersebut memiliki potensi untuk maju sebagai negara pascakolonial. Sebagai ilustrasi, ia membandingkan kondisi Indonesia yang dianggap belum mampu memperkuat infrastruktur negara dalam arti infrastructure strong, yang berdampak pada ketimpangan dan rendahnya GDP hanya 4 ribu Dollar, dengan Korea Selatan yang kini mendekati 40 ribu US$ per tahun. Alih-alih di zaman rezim Orde Baru, kuatnya negara lebih sebagai despotic strong yang tidak menguntungkan masyarakat luas.

Melalui kuliah umum ini, Laboratorium Riset Kebijakan dan Manajemen Publik, Departemen Ilmu Administrasi FISIP Unhas berharap dapat memberikan kontribusi dalam pemahaman yang lebih luas mengenai peran administrasi publik dalam menghadapi warisan kolonialisme, serta memperkaya konsep dan teori kebijakan manajemen publik yang relevan dengan konteks masyarakat pascakolonial.
Prof Tikson yang juga menulis buku Teori Pembangunan: Modernisasi, Keterbelakangan dan Ketergantungan ini menekankan bahwa negara kita harus disiplin menerapkan prinsip administrasi pembangunan yang menjaga tiga aliansi yang terdiri dari negara, local capital, dan foreign capital. Tanpa kedisiplinan serta penerapan prinsip birokrasi weberian, sulit mendongkrak GDP dan menciutkan gini ratio atau tingkat ketimpangan pendapatan suatu wilayah secara menyeluruh. (rls)

source