Tarik Ulur UMK Makassar

MAKASSAR, BKM — Dewan Pengupahan Kota Makassar menggelar rapat penetapan upah minimum kota (UMK) Makassar tahun 2025, Jumat (13/12) di Aula Kantor Dinas Tenaga Kerja Makassar, Jalan AP Petta Rani. Rapat yang berjalan cukup alot itu berlangsung dari pagi hingga sore dan diwarnai aksi unjuk rasa dari perwakilan berbagai serikat pekerja.

Bahkan, puluhan perwakilan buruh yang berorasi sempat melempari kantor Dinas Tenaga Kerja dengan telur. Selain itu, para pengunjuk rasa sempat menyegel Kantor Dinas Tenaga Kerja Makassar dan melarang orang masuk maupun keluar. Utamanya para perwakilan dari Dewan Pengupahan, dilarang meninggalkan tempat rapat sampai ada kesepakatan yang disetujui seluruh pihak. Hal tersebut terjadi saat rapat dilanjutkan usai salat Jumat.

Poin utama yang menjadi tuntutan para pengunjuk rasa bukan pada persoalan kenaikan UMK sebesar 6,5 persen. Karena poin itu telah menjadi aturan baku dari pemerintah pusat yang harus dipatuhi daerah. Mereka menuntut agar upah minimum kota sektoral (UMKS) dinaikkan hingga 5 persen. Di satu sisi, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) meminta kenaikan UMKS hanya naik 1 persen.
Para pengunjuk rasa membentangkan spanduk agar Kepala Dinas Ketenagakerjaan Kota Makassar, Nielma Palamba dicopot dari jabatannya jika tidak membantu memfasilitasi kenaikan UMKS tersebut.

Rampung Jelang Magrib

Kepala Dinas Ketenagakerjaan Makassar, Nielma Palamba mengatakan terkait dengan kenaikan UMK, Presiden RI Prabowo Subianto telah menetapkan sebesar 6,5 persen. Keputusan itu harus dipatuhi walaupun perwakilan buruh sempat meminta kenaikan sampai 10 persen.
“Penerapan UMK dan UMKS ini diwarnai riak-riak dari teman-teman serikat buruh. Namun untuk UMK tahun 2025, Bapak Presiden sudah menetapkan sendiri bahwa secara nasional baik provinsi dan kabupaten/kota terjadi kenaikan 6,5 persen. Sebelum kita menetapkan teman-teman dari serikat menganggap 6,5 ini masih rendah. Mereka malah menginginkan sampai 10 persen dan tentunya saya kira pemerintah menetapkan 6,5 persen ini juga melalui dinamika, melalui kajian-kajian,” ungkap Nielma.

Dia melanjutkan, penetapan UMK ini seharusnya sudah dilakukan November lalu. Namun karena alotnya diskusi maupun kajian serta adanya tarik ulur, akhirnya bergeser ke Desember.
Nielam melanjutkan, dari hasil rapat Dewan Pengupahan, perwakilan Apindo hanya menyetujui kenaikan UMK sebesar 6,5 persen. “Pertimbangannya, bahwa UMK saja yang 6,5 persen itu sudah cukup memberatkan bagi mereka, sehingga dalam berita acara ini juga tertuang bahwa teman-teman dari pihak Apindo tidak memberi pendapat. Namun demikian, dari teman-teman serikat buruh dan serikat pekerja maupun pemerintah mempertimbangkan bahwa upah minimum sektoral ini harus menjadi bagian yang penting untuk kita tetapkan, tentunya dengan mengacu dari upah minimum provinsi,” jelas Nielma.

“Upah Minimum Provinsi itu menetapkan tiga hal, yaitu sektor pertambangan, sektor listrik dan sektor pengolahan makanan,” lanjutnya.
Dari ketiga sektor yang ditetapkan UMP oleh provinsi, kata Nielma, diambil sektor yang pertama yang cocok dan tepat untuk dipertimbangkan sebagai UMKS. Karena untuk menentukan upah minimum sektoral itu harus mempertimbangkan karakteristik daerah. Juga mempertimbangkan risiko pekerjaan dan kompetensi.
“Sehingga kami menyepakati tadi dengan teman-teman serikat buruh terkait dengan sektor pengolahan makanan atau berdasarkan KBLI C10, dengan kenaikan 1 persen seperti provinsi juga 1 persen. UMK Makassar 2025 Rp3.880.136,865. Sehingga ketika kita tetapkan dalam bentuk rupiah maka upah minimum sektoral untuk kota Makassar di sektor pengolahan makanan tahun 2025 adalah totalnya Rp3.918.938,233. Ini adalah total upah minimum sektoral untuk sektor pengolahan makanan,” tambah Nielma.
Sementara untuk sektor yang kedua, yakni sektor pengangkutan dan pergudangan, kenaikannya itu sebesar 1,5 persen. Sehingga upah minimum sektoral untuk sektor pengangkutan dan pergudangan totalnya menjadi Rp3.938.338,917.

“Itu yang ada dalam berita acara dan ini akan kami rekomendasikan kepada Bapak Wali Kota,” jelas Nielma.
Selanjutnya, kata Nielma, wali kota akan mengusulkan rekomendasi ini ke gubernur untuk ditetapkan. Paling lambat 18 Desember mendatang sudah harus ada keputusan gubernur terkait UMK Makassar.

Upah minimum kota dan upah minimum sektoral ini berlaku untuk karyawan yang bekerja di bawah 12 bulan. “Jadi bagi yang memiliki masa kerja 1 sampai 12 bulan. Bukan kepada karyawan yang sudah bekerja di atas 1 tahun ya. Seperti itu untuk diketahui bahwa namanya upah minimal berarti bahwa upah ini berlaku bagi buruh atau pekerja yang bekerja 0 sampai 12 bulan. Bagi yang sudah di atas 12 bulan maka akan berlaku yang namanya struktur dan skala upah,” tegas Nielma.
Struktur dan skala upah itu mempertimbangkan antara lain masa kerja, kemudian juga kompetensi skill. Termasuk yang terkait dengan risiko pekerjaan, dan banyak pertimbangan-pertimbangan lainnya.

Ketua Bidang Pembinaan Perusahaan Apindo Makassar Muh Isnaini menyampaikan kenaikan 6,5 persen maka UMK Makassar di angka Rp3,8 juta lebih, itu sudah memberatkan pengusaha. Apalagi jika mempertimbangkan upah sektoralnya.

“Terus terang saja ini tinggi sekali. Karena nilainya kalau naik 6,5 persen berada di Rp3,8 juta,” ucap Muh Isnaini.
Anggota Dewan Pengupahan dari Unsur Pengusaha ini menilai angka UMK Makassar sangat jauh perbedaannya dari daerah-daerah yang ada di Jawa. Menurutnya, ketimpangan UMK Makassar dengan daerah lain sangat terlampau jauh.
Ia khawatir, kebijakan UMK ini akan berdampak ke perusahaan. Berujung pada penutupan. Bahkan, ada beberapa perusahaan di Makassar akan tutup pada Desember ini. Salah satunya karena perimbangan kenaikan UMK.

Selain itu, para investor juga akan mempertimbangkan untuk melaksanakan investasi di Makassar jika melihat kondisi ini.
“Bisa jadi tutup perusahaan di sini lalu pindah ke Jawa. Itu yang harusnya kita pikirkan. Makanya, serikat yang ada di sini harus berpikir jauhlah. Jangan hanya ingin menaikkan UMP,” tegasnya.

Yang harus diperjuangkan, kata Isnaini, adalah struktur skala upahnya. (rhm)

source

Leave a Reply