NUR RAHMA, gadis kelahiran Bantaeng, 14 Maret 2006 adalah contoh nyata bahwa mimpi besar memerlukan perjuangan besar pula. Ia yang tercatat sebagai mahasiswa baru (maba) di Universitas Muhammadiyah Makassar (Unismuh) Jurusan Akuntansi, telah melewati perjalanan panjang yang penuh pengorbanan dan ujian hidup.
SEJAK kecil Rahma telah menunjukkan prestasi akademik yang gemilang. Di bangku SD, ia selalu menduduki peringkat pertama selama lima tahun berturut-turut. Di SMP, ia meraih peringkat kedua. Di SMA cewek berhijab ini konsisten berada di lima besar.
Namun, perjalanan menuju perguruan tinggi impian bukanlah hal yang mudah baginya. Apalagi dengan kondisi ekonomi keluarganya yang terbatas.
Rahma sebenarnya bercita-cita untuk melanjutkan pendidikan di Universitas Hasanuddin (Unhas) melalui jalur SBMPTN. Ia juga mencoba berbagai jalur lainnya, termasuk SNBT dan program KIP Kuliah. Namun, kegagalan demi kegagalan harus ia terima.
“Sedihnya pasti ada, tapi saya selalu percaya bahwa setiap kesedihan pasti membawa hikmah,” ujarnya dalam siniar untuk kanal Youtube Berita Kota Makassar.
Di tengah perjuangannya, kondisi bapaknya yang menderita diabetes semakin memburuk. Rahma ingat betul bagaimana keluarganya harus berjuang di tengah keterbatasan. Bahkan, sebelum berangkat tes ke Makassar, ia sering membantu orang tuanya memanen padi hingga malam hari, meski sedang berpuasa.
“Kalau bulan puasa, biasanya setelah berbuka saya jalan kaki sekitar satu kilometer ke sawah untuk membantu panen. Kadang hasilnya hanya satu karung padi yang harus dibagi-bagi,” kenang Rahma. Bulir bening mengalir dari sudut matanya.
Setelah gagal di beberapa jalur seleksi, Rahma akhirnya mempertimbangkan untuk mendaftar di Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar. Awalnya, ia sempat ragu karena kampus swasta sering dianggap mahal. Namun, dorongan dari gurunya bernama Fitriani, membuatnya yakin untuk mencoba.
“Bu Fitriani bilang, yang penting saya tetap di jurusan yang saya impikan, yaitu Akuntansi. Akhirnya saya mantapkan niat untuk masuk Unismuh,” tuturnya.
Namun, tantangan belum berakhir. Biaya pendaftaran Rp6 juta menjadi penghalang besar bagi keluarga Rahma. Ibunya hanya memiliki uang Rp2 juta dan harus meminjam ke tetangga untuk menutupi kekurangan. Selain itu, jarak bank terdekat ada di kabupaten tetangga Bantaeng, yakni Jeneponto. Kondisi ini membuat proses pembayaran semakin sulit.
Berkat bantuan seorang dosen bernama Ismail, yang dengan sukarela membantu membayarkan biaya tersebut, Rahma akhirnya berhasil mendaftar.
Ketika pengumuman kelulusan diterima, betapa bersyukur dan gembiranya Rahma. Namun, kebahagiaan itu hanya sesaat dirasakannya. Bapaknya yang sudah cukup lama menderita diabetes dan komplikasi stroke akhirnya meninggal dunia.
“Saya memeluk bapak sambil bilang, Bapak, saya lulus kuliah. Saya lulus KIP. Tapi saya tidak percaya kalau itu adalah momen terakhir saya bersamanya,” ucap Rahma sambil terisak.
Rahma tetap berusaha tegar demi ibunya. Ia memastikan bahwa impian bapaknya untuk melihatnya menjadi seorang sarjana akan tercapai.
Saat memulai kuliah di bulan Agustus, Rahma harus hidup hemat. Ia hanya membawa uang Rp500 ribu, yang harus cukup untuk makan, membeli kuota internet, dan mencetak tugas.
“Saya sering makan orek tempe yang dibuat dengan modal Rp10 ribu. Itu bisa tahan sampai seminggu,” imbuhnya.
Ia sempat ingin bekerja untuk membantu biaya hidup, tetapi ibunya melarang karena khawatir akan kesehatan Rahma yang pernah mengalami tipes. “Mama bilang, kalau kerja nanti saya sakit, siapa yang akan membantu di rumah?”
jelasnya.
Meski dengan segala keterbatasan, Rahma tetap bersyukur. Ia mengandalkan program KIP untuk meringankan beban biaya kuliah. Selain itu, Unismuh memberikan kemudahan pembayaran secara cicilan, yang sangat membantu keluarganya.
Kini, Rahma menjalani hari-harinya sebagai mahasiswa di Unismuh dengan penuh semangat. Ia berharap kisahnya dapat menginspirasi anak-anak muda lainnya untuk tidak menyerah pada keadaan.
“Kalau kita punya impian, jangan pernah takut gagal. Setiap kegagalan pasti ada hikmahnya. Yang penting, terus berusaha dan jangan lupa doa orang tua,” pesannya.
Kisah Rahma menjadi bukti bahwa keterbatasan bukanlah penghalang untuk meraih mimpi, asalkan diiringi dengan doa, kerja keras, dan keikhlasan menerima segala ujian hidup.
(mg1)