MAKASSAR, BKM — Kebutuhan ahli gizi di daerah meningkat. Namun, mereka masih kurang terserap.
Karena itu, Pengurus Daerah AsDI (Asosiasi Dietisien Indonesia) Provinsi Sulawesi Selatan bersama Persagi (Persatuan Ahli Gizi) menggelar temu ilmiah dan pelatihan asuhan gizi nasional, di Claro Hotel Makassar, Kamis (23/11).
Kegiatan tersebut dihadiri 400 pengasuh gizi (dietisien) dari perwakilan 38 provinsi se-Indonesia.
Ketua Pengurus Pusat (PP) AsDI Fitri Hudayani mengatakan, pengembangan keilmuan dan kompetensi dietisien (ahli gizi) sangat diperlukan, baik bagi mereka yang terjun langsung ke masyarakat maupun yang bertugas di rumah sakit. Ilmu yang diterapkan pada layanan kesehatan seperti RS sangat dinamis, sehingga perlu akselerasi dalam pengembangannya.
“Kalau jumlahnya (tenaga ahli gizi) ideal. Hanya penyerapannya belum ideal, penempatannya belum,” ungkap Fitri.
Khusus rumah sakit, kata dia, saat ini persentasenya satu rumah sakit hanya memiliki empat orang tenaga gizi. Padahal rumah sakit pelayanannya beragam dan pasiennya banyak.
“Kalau untuk rawat inap itu setidaknya setiap 30 pasien ada satu tenaga gizi, atau 1 banding 30. Kalau intensif care perbandingannya 15 sampai 20. Itu kira-kira kurangnya masih cukup banyak. Mudah-mudahan dengan adanya kegiatan seperti ini bisa berkesinambungan dan ada kerja sama dengan pemerintah daerah agar itu bisa tercapai,” harapnya.
Ketua DPP Persatuan Ahli Gizi Indonesia Kombes Rudatin, menyampaikan apresiasinya sebab Pemprov Sulsel sudah menerapkan satu desa satu ahli gizi. Itu dalam hal pendampingan pengentasan stunting, sehingga menerjunkan langsung para ahli gizi ke daerah-daerah.
“Kegiatan ini terkait pelatihan asuhan gizi dan dietisien pelayanan yang akan diberikan pada pasien, khususnya di rumah sakit atau institusi lain, karena ini berbasis per kasus. Tentu dengan penyakit tertentu yang tidak menular seperti obesitas. Inilah yang harus melalui standar minimal,” terangnya.
Kata ia, sangat penting dan perlu para ahli gizi bekerja sesuai standar kompetensi yang diharapkan sesuai perkembangan ilmu dengan meningkatkan kapasitas sumber daya. Apalagi, masyarakat saat ini dikerumuni penyakit yang kompleks. Bukan hanya stunting, tetapi juga penyakit tidak menular. Obesitas yang meningkat bisa menimbulkan penyakit lainnya.
“Ke depan kita harapkan semakin baik. Ahli gizi bukan hanya di lapangan, tetapi juga di rumah sakit, di pelayanan khusus harus diperhatikan,” tukasnya.
Staf Ahli Bidang Pemerintahan Pemprov Sulsel Andi Mappatoba mengatakan, persoalan stunting dan gizi buruk sangat membutuhkan keberadaan tenaga gizi yang jadi motor penggerak pengentasannya. Pemprov melalui program prioritas, yakni pengentasan kemiskinan ekstrem, penekanan angka stunting, dan ketahanan pangan berupaya mencapai cita-cita penurunan angka gizi buruk di Sulsel.
Saat ini, prevalensi stunting di Sulsel sendiri masih di angka 27,2 persen. Jauh dari target nasional pada 2024 yakni 14 persen.
“Dengan pelatihan yang simultan ini, kita harapkan pelayanan dan fasilitas terkait yang bermasalah dengan tenaga gizinya tentu akan meningkatkan pelayanan rumah sakit Pemprov Sulsel,” ungkapnya.
Dengan itu, pelayanan bisa semakin maksimal, durasi layanan bisa dipercepat, dan profit bagi pasien yang dapat sembuh lebih cepat.
“Kita harapkan kegiatan seperti ini tidak berhenti pada sektor gizi saja, tetapi juga sektor lain. Misalnya kesehatan. Termasuk pemulihan ekonomi dan pengentasan kemiskinan,” tandas Mappatoba. (jun)