MAKASSAR, BKM — Lagi-lagi pemangkasan anggaran atau yang kerap disebut refocusing mesti dilakukan Pemprov Sulsel di tahun 2024. Hal ini ditengarai karena utang di era kepemimpinan Gubernur Andi Sudirman Sulaiman (ASS) belum sepenuhnya terbayarkan.
Kepala Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) Sulsel Salehuddin tak menampik adanya pemangkasan tersebut. Ia menyebut langkah tersebut dilakukan demi membayar sisa Dana Bagi Hasil (DBH) di era kepemimpinan Gubernur ASS.
”(Utang) bagi hasil. Kalau pihak ketiga kan selesai, tinggal DBH,” ujarnya, Senin (5/8).
Kendati demikian, pria yang akrab disapa Boby ini mengaku tahu secara rinci berapa besar anggaran yang akan terkena pemotongan tersebut.
“Belum tahu pastinya, karena kan masih di Bappelitbangda, belum KUA-PPAS,” jelasnya.
Pengamat Pemerintahan dari STIE Wirabakti Masriadi Patu tak habis pikir melihat adanya utang DBH. Padahal harusnya uangnya sudah ada di tahun 2023 lalu. Tinggal dibayarkan ke kabupaten/kota.
“Sama semua itu. DBH yang dulu ke mana. Kenapa tidak dibayarkan, digunakan untuk apa. Kan begitu. Jelaskan dulu itu baru buat kebijakan lain,” ujarnya.
Masri juga mempertanyakan perencanaan dan prioritas Pemprov Sulsel dalam menyusun dan mengelola anggaran. Menurutnya, APBD Sulsel kini malah menjadi amburadul.
“Itu sudah kelihatan sekali bahwa ini tidak jelas prioritasnya apa mau dibikin, tidak bisa. Makanya, ada KUA PPAS di awal penganggaran, itu yang harus ditetapkan baru disesuaikan dengan kemampuan anggaran. Jangan di tengah jalan ada ini itu. Begitulah kalau pimpinan tidak terlalu paham anggaran baru tidak mendengarkan saran dari tim teknis, akhirnya amburadulnya,” cetusnya.
Ini juga, lanjut Masri, merupakan dampak dari tak kunjung definitifnya posisi sekretaris provinsi (sekprov) yang juga Ketua Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD).
“Salah satu faktor kenapa pengelolaan anggaran pemprov seperti ini karena ketua TAPD tidak pernah definitif, diganti terus. Jadi arah kebijakannya tidak jelas mau ke mana,” imbuhnya.
Akhirnya, kata dia, masyarakat menjadi korban. Sebab pemotongan anggaran ini berpotensi terjadi di seluruh OPD Pemprov Sulsel, dan otomatis menyebabkan anggaran pelayanan publik berkurang.
“Kalau misalnya refocusing akan mengurangi anggaran di OPD, artinya anggaran pelayanan publik berkurang, pastinya masyarakat mau nikmati apa. Masak masyarakat korban dan pasti (korban), karena ada kepentingan publik yang tidak bisa dilakukan karena ada refocusing,” pungkasnya.
Hal senada disampaikan pakar keuangan negara Universitas Patria Arta Bastian Lubis. Kata dia, Pemprov Sulsel terkesan tidak disiplin menjalankan APBD sepanjang tahun 2024.
“Ini karena disiplin anggaran kemarin yang kebablasan. Karena sebenarnya tidak bisa terjadi utang, sebab semua kegiatan yang dianggarkan itu sudah dialokasikan,” ujarnya.
Rektor Universitas Patri Artha ini berpandangan masalah utang ini sebenarnya bisa digiring ke kasus pidana. Karena semua item kegiatan sudah ada mata anggarannya. Namun yang menjadi pertanyaan kenapa tidak dibayarkan dan anggarannya sudah dikemanakan.
“Itu akhirnya berdampak terhadap masalah pidana kalau ditelusuri, karena memang tidak tersedia anggarannya. Itu di Undang-Undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara pasal 34. Bunyinya; apabila kepala daerah menyimpang daripada angggaran yang sudah ditetapkan, itu pidana. Cuman kita tidak serius ke situ. Sebenarnya harus jadi temuan BPK, itu akan berpengaruh ke Silpa ke depan,” sebutnya.
Di sisi lain, ia menyoroti fungsi DPRD Sulsel sebagai pengawasan pemerintah yang terkesan tak berdaya karena tidak ada yang mempersoalkan.
“Sekarang saya lihat mekanisme pengawasan DPRD, karena DPRD mau ganti 50 sampai 50 persen diganti pemain baru. Nah, sudah malas awasi,” kata dia. (jun)