Site icon ROVINDO

Mengemas Kisah Sejarah dan Budaya agar Disukai Anak Muda

MAKASSAR, BKM.CO,–Ada yang bilang anak muda saat ini alias millenial tidak begitu peduli tentang sejarah dan budaya. Namun, persepsi itu terbantahkan dengan kenyataan yang diperoleh Ihwan Achmadi. Dengan mengemas liputan tentang kisah yang terkait sejarah dan budaya di Sulawesi Selatan, ia mampu mengajak kaum millenial untuk tahu dan paham tentang hal itu.

MITOLOGI Bumi Sulsel (MBS) menjadi tempat berkecimpungnya Iwal, sapaan akrab Ihwan Achmadi. Ia seorang direktur sekaligus sutradara di MBS yang memiliki kanal khusus yang mengangkat tema tentang sejarah, budaya, situs hingga mustikal adat.
Hadr menjadi tamu di studio siniar Berita Kota Makassar, Iwal mengaku tidak punya jurusan akademik khusus yang berkaitan dengan apa yang digelutinya saat ini. Pria yang lahir di Sungguminasa, Gowa, 24 Januari 1987 ini menyebut, awalnya kanal MBS merupakan salah satu program Yayasan Budaya Bugis Makassar yang secara spesifik dan terkhusus dibentuk serta didirikan untuk melakukan penelusuran dan peliputan adat dan budaya di Sulawesi.
Bicara tentang segmen, Iwal menyebut ada empat besar yang diklasifikasikan. ”Pertama kita meliput adat budaya dan sejarah, situs, tokoh dalam sejarah seperti para pahlawan, serta mustikal adat dan budaya,” ujarnya.
Kenapa Iwal tertarik masuk ke MBS? Ternyata hal itu tidak terlepas dari latar belakang sehari-harinya. Ia dibesarkan di wilayah yang dekat dengan adat dan budaya. Bahkan tentang sejarah bukan hal baru secara pribadi bagi Iwal.
”Berangkat dari apa yang disuka dan digeluti, kenapa tidak kita tuangkan dan salurkan, biar orang banyak bisa lihat dan tahu. Itu salah satu ide dan tujuan membentuk MBS,” terangnya.
Untuk segmen adat dan budaya, Iwal menyebut contoh yang telah diproduksi. Seperti tradisi A’palili dan Cera’ Kalompoang. Bahkan ada beberapa episode khusus yang dibuat dengan mengangkat tradisi yang sangat jarang dijumpai.
”Sekarang ini hal seperti itu cukup menuai pro dan kontra, sehingga menjadi tantantang tersendiri untuk memproduksinya. Khususnya dalam menemukan prosesinya di mana, sumber datanya, pelakunya siapa. Tiap episode selalu penuh tantangan,” jelasnya.
Segmen kedua soal situs. Iwal menyebut, berdasarkan data Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulsel, situs yang tercatat saat ini berjumlah 1.360-an. Sementara yang tidak tercat jauh lebih banyak. Diperkirakan hampir mencapai 3.000.
Di segmen ini, dalam melakukan produksi, MBS memprioritaskan situs yang tidak terjangkau atau tidak tak tercatat. Iwal mencontohkan situs Balla Seng di Bulukumba. Situs sejarah bekas rumah Raja Kindang ini, jangankan oleh masyarakat umum, masyarakat setempat saja tidak tahu ada situs kediaman raja berada di tengah-tengah kampung mereka. Hal itu dikarenakan banyak situs yang sulit dijangkau sehingga tidak terekspos.
Ketiga, segmen tokoh. ”Untuk tokoh ini kita tidak pernah kekurangan bahkan kehilangan. Di Sulsel begitu lengkap dan sempurna soal tokoh dalam hal dan latar belakang apa saja. Bicara pendidikan ada, agama ada, politik ada, semua ada. Termasuk percintaan. Kisah dan tokoh Maipa Deapati itu adalah Romeo and Juliet versi kita. Beauty and The Beast juga ada. semuanya menarik dan keren. Ini semua perlu dan harus diangkat biar semua orang bisa tahu sebesar apa sebenarnya kita punya peradaban,” tandas Iwal.
Segmen keempat adalah mustikal adat. Iwal mengakui segmen ini disukai oleh penonton. Bahkan yang paling viral. Setiap ada liputan baru yang ditayangkan selalu banyak penontonnya.
”Segmen ini memang paling sulit dapatkan. Karena kita tidak pernah pernah merekayasa atau membuat gimmick dan bersandiwara dalam melakukan produksi,” jelasnya.
Ia mencontohkan tentang parakang yang begitu viral ditonton. MBS, menurut Iwal, tidak asal-asalan mengangkat sebuah liputan dalam setiap episodenya. Paling tidak ada empat standar sehingga layak untuk diliput. Yakni pastikan ada situsnya, ada sumber datanya, ada masyarakat atau kulturnya, dan ada literasinya.
”Parakang ini ada keempatnya. Bukan juga soal di mana yang berhubungan hal-hal mistik, spiritiual. Tapi masuk pada klasifikasi empat ini hingga kemudian kita angkat untuk diproduksi,” tambah Iwal.
Tentang waktu untuk menggarap satu video, Iwal mengaku butuh waktu yang tidak singkat. Di MBS ada beberapa divisi dan bidang dalam produksi. Prosesnya, di tahap awal usai menentukan tema, selanjutnya mengolah tema di tim riset dan pengkajian. Setelah dianggap layak lalu dibawa ke tim hunting. Merekalah yang kemudian turun menyisir lapangan. Yang melihat situasinya, situs, termasuk mempersiapkan narasumbernya.
Jadi, menurut Iwal, bukan hal mudah untuk merealisasikan sebuah produksi. Konsepnya memang penelusuran sehingga dipastikan memang ada di sebuah wilayah. Selanjutnya alat dan kru diturunkan ke lokasi untuk melakukan tahap produksi.
”Prosesnya panjang. Paling tidak butuh waktu seminggu dalam satu kali produksi,” ungkap Iwal, yang menyebut sejak dibentuk Mei 2021, hingga saat ini MBS telah memproduksi hampir 60 episode.
Dari video yang dihasilkan lalu kemudian diunggah di kanal Youtube MBS, trafficnya memperlihatkan rentang usia penonton yang didominasi kalangan muda. ”Itu menariknya. Batas usia belasan tahun sampai 35. Awalnya saya berpikir kenapa anak-anak muda tidak tertarik dengan sejarah, adat dan budaya sendiri. Ternyata mereka bukan tidak tertarik, melainkan tidak punya wadah dan pengemasan yang tepat,” jelas Iwal.
Menurutnya, sistem komunikasi anak-anak sekarang itu beda. Mereka untuk membutuhkan infornasi sampai ke pemikiran tidak perlu bertele-tele dan panjang lebar. Yang dibutuhkan singkat, padat, dan jelas. Untuk itu MBS berupaya mengemas agar lebih mudah dan lebih tepat sasaran, serta tidak bertele-tele.
Lalu bagaimana dengan biaya produksinya? Iwal tak memungkiri bahwa secara materi yang diperoleh dari Youtube tidak mampu menutupi biaya produksi. Sebab untuk satu episode biayanya tidak sedikit.
”Kenapa bertahan? Karena kalau bukan kami siapa lagi. Saya harus harus berpikir dan melakukan sesuatu yang berguna dan bermanfaat bagi banyak orang,” kata pria yang hobi membaca dan traveling ini. (*/rus)

The post Mengemas Kisah Sejarah dan Budaya agar Disukai Anak Muda appeared first on Berita Kota Makassar.

source

Exit mobile version