dr. Armanto Makmun, M.Kes Dosen Fakultas Kedokteran UMI Makassar
ronalyw
Jumat, 17 April 2020 16:14 pm
dibaca 2854 kali

dr. Armanto Makmun, M.Kes Dosen Fakultas Kedokteran UMI Makassar

Hari ini, kita berada di sebuah masa. Masa di mana jika kita ceritakan ini kepada anak dan cucu kita, mungkin mereka tidak akan percaya. Masa di mana, jika dijadikan naskah film  atau disadur menjadi sebuah novel, mungkin akan menjadi kisah terbaik yang pernah ada.

Sejarah Putih (COVID-19)

Apa yang terjadi pada hari ini, berawal dari kota putih. Sebuah kota dimana penduduknya berkulit putih. Suatu hari, satu wabah menyebar dan menjangkiti para warga satu demi satu. Detik berganti menjadi jam, berganti menjadi hari, dan berganti menjadi pekan. Selama itu pula, wabah ini tak berhenti. Dia terus bergerak, menyusup ke dalam tubuh-tubuh yang lengah.
 
Wabah ini mendorong ribuan warga untuk berduyun-duyun mendatangi rumah-rumah putih. Sebuah rumah di mana di dalamnya banyak petugas berpakaian jas putih. Para warga mendatangi rumah putih ini untuk menyelamatkan diri dan meminta bantuan. Kami ingin disembuhkan.
 
Namun, banyak dari mereka yang datang, akhirnya harus pulang dengan berbalut kain atau plastik putih. Bukan hanya satu, dua atau tiga. Tetapi sangat, sangat banyak.
 
Saudaraku, kisah ini tidak berhenti sampai di sini. Semakin hari, wabah semakin menyebar, ia terbang melewati gunung dan lautan. Sang wabah seperti memiliki tangan tak terlihat yang dapat menjangkau siapa saja. Hingga akhirnya, ia berhembus sampai ke gedung putih, dan memutihkan tanah suci. Tanah suci yang setiap hari kita dapati selalu dipenuhi dengan para hamba-Nya, sekarang kosong. Menunjukkan lantainya yang putih bersih.
 
Para pemangku jabatan dari tingkat paling rendah hingga ke paling tinggi menyuarakan perintah yang sama “tetaplah di rumah (stay at home)” menjadikan semua kantor di dunia menjadi hening. Jalanan menjadi sunyi. Pasar ditinggalkan pembelinya.

Karya Ilahi

Hari ini, negeri-negeri dengan teknologi kesehatan mutakhir, mulai mengibarkan bendera putih. Pemandangan yang tadinya hanya terlihat di kota putih, secepat kilat mulai terlihat di kota-kota besar lainnya. Tak ada rumah putih yang tak kewalahan, puluhan ribu pesakitan masuk ke dalamnya setiap hari, dan tidak semua keluar dengan selamat.
 
Kapan keadaan ini akan berakhir?
 
Tentu saja, kalau kita jujur, tak ada yang bisa menjawab pertanyaan tersebut dengan pasti. Kecuali Dia, sang penulis takdir. Allah subhanahu wa ta’ala. Dialah satu-satunya yang mampu menghentikan kisah pilu ini, sekaligus yang mampu melanjutkan kisah ini, sepanjang yang Dia kehendaki.
 
Aku paham jika kita mulai berpikir tentang hari esok yang kelam. Berpikir tentang bagaimana kita bisa memenuhi kebutuhan. Bagaimana keadaan ekonomi, linkungan dan sosial setelah ini. Di titik inilah, kita disadarkan bahwa kita hanyalah makhluk yang sangat lemah. Tetapi, disisi lain, selama masih ada Dia yang menguasai semesta, selalu ada harapan. Harapan dengan melakukan kebaikan maka datang rahmatNya
 
Saudaraku, di masa-masa sulit ini, tetaplah menjadi manusia yang baik. Lakukan kebaikan, meski hanya di dalam rumah. Mari membantu orang-orang di sekitar kita. Itu semua bukan hanya demi kebaikan mereka, namun juga kebaikan kita sendiri, di hari yang akan datang.
 
Saudaraku, mari kita mulai dari diri masing-masing. Meski pemerintah meneriakkan Social Distancing sebagai bentuk pencegahan, biarlah fisik kita yang berjauhan. Masalah aksi kebaikan, harus tetap dekat. Tetap hangat meski tidak dekat, dan tetap membantu untuk menghilangkan haru.

Dua Semut

Saudaraku, pada suatu ketika, terdapat dua ekor semut. Semut pertama mengetahui tempat penyimpanan madu yang sangat banyak sekali. Dia tidak ingin berbagi madu tersebut satu tetespun. Sedangkan semut kedua tidak tahu di mana tempat penyimpanan madu tersebut. Namun semut kedua mengerti, bahwa madu bisa menempel ke tubuh semut. Dia juga mengerti bahwa mengambil madu secara berlebihan bisa membahayakan jiwa.
 
Analogi tersebut menggambarkan dua jenis manusia. Yang satu memiliki rejeki keuangan, sedang yang satu memiliki rejeki di bidang keilmuan. Bila dua orang ini tidak bekerjasama, maka hancur akibatnya. Semut pertama akan mati tenggelam di lautan madu, dan semut kedua akan mati kelaparan karena tidak memperoleh madu. Lain ceritanya jika dua semut ini bekerjasama. Semut kedua bisa memberikan pengetahuan pada semut pertama, sehingga Ia hanya mengambil madu seperlunya, dan semut kedua bisa mendapatkan madu dari semut pertama, sebagai penghargaan akan informasi tersebut.
 
Inilah yang diajarkan dalam agama Islam, dimana kita didorong untuk saling membantu dan bermanfaat untuk orang lain. Di mana dengan memberikan bantuan ini, kita berharap akan mendapatkan keuntungan di hari yang akan datang.

Biarlah fisik ini yang berjauhan untuk sementara. Masalah amal kebaikan, harus tetap dekat. Semoga, dengan ini, sang penulis takdir akan memberikan sebuah happy ending, bukan sebaliknya. Amin.