Antisipasi Potensi Kecurangan di Pilkada: Dari Intimidasi Hingga Vote Buying, Kolaborasi Semua Elemen Diperlukan
axel wiryanto
Sunday, 06 October 2024 11:43 am
dibaca 3 kali

SELURUH elemen, baik masyarakat maupun penyelenggara serta para penegak hukum waspada akan potensi kecurangan pada ajang pilkada. Potensi kecurangan pertama yang harus diwaspadai, yakni intimidasi. Contohnya dengan membuat pemilih takut untuk memilih, tidak mau datang ke TPS.
Kedua, distruption atau gangguan. Kecurangan ini dimaksudkan dengan menimbulkan gangguan-gangguan sehingga menciptakan situasi tidak kondusif saat pemungutan suara.
Kecurangan ketiga adalah missinformation, yakni dengan menyebarkan informasi yang tidak benar kepada masyarakat. Keempat adalah registration fraud atau penipuan pendaftaran. Kecurangan ini dilakukan dengan memanipulasi data sehingga pemilih tidak memiliki hak untuk memilih.

Kelima, vote buying atau pembelian suara. Contohnya serangan fajar. Terakhir, kecurangan berupa ujaran kebencian.
Dengan berbagai potensi kecurangan yang bisa saja terjadi tentu hal ini membutuhkan kolaborasi dari seluruh elemen, mulai dari pemerintah, aparat, penyelenggara, hingga masyarakat guna mewujudkan proses pilkada yang langsung, umum, bebas, rahasia, serta jujur dan adil, sebagaimana prinsip pemilihan yang diatur dalam konstitusi.
Yang tak kalah pentingnya, setiap paslon harus mengimbau kepada setiap basis dukungan dan relawan untuk tidak melakukan cara-cara yang tidak diperbolehkan oleh konstitusi kita, sehingga asas jujur dan adil dapat terwujud dengan baik.

Bentuk-bentuk kecurangan dalam ajang pilkada tentu perlu diantisipasi, sebab sangat mungkin jika potensi kecurangan yang terjadi dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Seperti jual beli suara, politik uang, pengubahan suara, pemalsuan tanda tangan. Potensi Kecurangan-kecurangan tersebut perlu diantisipasi dengan baik dalam pemilihan kepala daerah.

Guna merealisasikan pilkada yang jujur dan adil tentu harus dudukung dengan transparansi oleh penyelenggara, dalam hal ini adalah KPU dan Bawaslu. Keduanya harus memaksimalkan keterbukaan data pemilu untuk mencegah terjadinya kecurangan.
Jika mengacu pada konsep dari National Democratic Institute (NDI) (2014), terdapat 16 data kunci yang diharapkan dapat terbuka seperti, kerangka hukum, peta dapil, profil penyelenggara pemilu di setiap tingkatan, catatan proses yang dijalankan penyelenggara pemilihan.
Prinsip Keterbukaan pada ajang pilkada diharapkan dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas sehingga pemilu menjadi lebih berintegritas. Kemudian, dengan asas keterbukaan tentunya akan mendorong peningkatan partisipasi masyarakat. Termasuk dalam mengawasi dan melaporkan jika ada pelanggaran dalam proses pilkada.
Partisipasi masyarakat dalam pengawasan ini sangat penting untuk mencegah kecurangan yang dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.Integritas pemilihan dapat berjalan ketika seluruh rangkaian proses pemilihan tersebut mencerminkan keinginan dari para pemilih.
Sehingga masyarakat mempercayai proses tersebut dan mereka mau menggunakan hak pilihnya pada saat pemungutan suara. Untuk itu setiap tahapan pilkada harus dilaksanakan secara terbuka dan transparan untuk memastikan setiap orang mendapatkan informasi yang mereka perlukan. (yus)

source