Site icon ROVINDO

Ada ASN Korban NJDM tak Lakukan Pelanggaran

MAKASSAR, BKM — Ombudsman Perwakilan Sulawesi Selatan telah memeriksa Inspektur Inspektorat Sulsel Marwan Mansyur pada Jumat malam (5/1). Ada banyak hal yang digali oleh Ombudsman dan dijelaskan oleh Marwan, khususnya yang terkait aduan ASN Pemprov Sulsel yang terdampak kebijakan non job, demosi serta mutasi (NJDM) di era kepemimpinan Gubernur Andi Sudirman Sulaiman.
Marwan menjelaskan bahwa ada diantara ASN yang menjadi korban NDJM sebenarnya tidak melakukan pelanggaran. Meski begitu, terdapat tiga pertimbangan sehingga pihaknya melakukan kebijakan NJDM. Yakni, restrukturisasi kelembagaan, laporan hasil pemeriksaan (LHP), dan evaluasi kinerja melalui gubernur.
”Jadi ada pertimbangan saya. Mohon maaf saya bisa buka. Yang pati ada beberapa diantaranya yang mengadu ini. Ada juga yang tidak (ada LHP-nya). Ada evaluasi kinerja yang di BKD tapi kan lewat pimpinan. Termasuk hasil restrukturisasi kelembagaan. Itu mungkin yang harus dipetakan,” terang Marwan usai menjalani pemeriksaan.
Diakui Marwan, dari ASN yang mengadu itu, ada diantaranya yang tidak mempunyai pelanggaran pada ketiga tiga item tersebut.

“Ada beberapa yang tidak melanggar. Pelaksanaan rotasi ini ada tiga item yang menjadi dasarnya. Selain LHP, ada evaluasi dari pimpinan dan restrukturisasi,” ungkapnya.

Walau begitu,
Marwan menegaskan, pihaknya tidak bisa memberikan LHP ke Ombudsman Perwakilan Sulsel. Karena hal itu menyangkut kerahasiaan ASN yang bersangkutan.

“Memang, ada beberapa dari para pengadu itu ada LHPnya. Tapi yang namanya LHP itu bersifat rahasia. Kami khawatir, bukan berarti kami tidak percaya Ombudsman, tapi kita kasihan juga sama yang bersangkutan. Jadi kita jaga kerahasiaannya,” terangnya.
Marwan menyebut, ada lima pertanyaan yang disodorkan oleh Ombudsman Perwakilan Sulsel kepada dirinya. Namun, ia tidak bisa membeberkan jawaban secara detail, seperti LHP karena harus mendapat persetujuan pimpinan.

“Ada lima pertanyaan yang harus dijawab. Tapi ada yang tidak secara vulgar, mungkin kalau ada izin dari gubernur saya bisa sampaikan,” ucapnya.

Untuk itu Marwan menyampaikan permohonan maaf kepada Ombudsman Sulsel karena tidak dapat menguraikan jawab secara terperinci.

“Jadi kami sampaikan kami minta maaf ke Ombudsman. Kami hargai lembaga yang punya kepedulian terhadap berjalannya pemerintahan yang baik,” tandasnya.

Plh Kepala Perwakilan Ombudsman Sulsel Hasrul Eka Putra, mengakui bahwa ada LHP yang tidak bisa dilaporkan Inspektorat melalui Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK).

“Sebenarnya di UU Keterbukaan Informasi ada yang sifatnya terbuka dan tertutup, salah satunya yang tertutup yakni LHP. Yang tadi LHP yang dimaksud rahasia, biasanya kami meminta ke gubernur, bukan ke Inspektorat sebagai pemegang informasi. Ada yang ada temuannya, ada yang berdasarkan evaluasi kinerja. Ada beberapa ASN terkena dampak restrukturisasi organisasi karena tahun 2023 kemarin ada beberapa OPD yang digabung. Kalau seperti itu kan konsekuensi logis,” ujar Hasrul.
Ombudsman kemudian mempertanyakan terkait ASN yang tidak melakukan pelanggaran tapi menanggung nasib NJDM.

“Untuk Inspektorat memang kami fokus apakah di beberapa ASN yang dimutasi dan demosi kemarin, ada pemeriksaan Inspektorat atau tidak,” tandasnya.

Hasrul mengungkapkan, ada beberapa keterangan Inspektorat soal ASN yang tidak melanggar tapi dapat kebijakan NJDM terindikasi maladministrasi.

“Misalnya, ada beberapa yang tidak melewati evaluasi kinerja dan pemeriksaan, tentu ada indikasi yang semakin penguatan dugaan awal yang disampaikan pelapor kepada Ombudsman,” jelasnya.

Setelah mendapat keterangan dari Inspektorat, Ombudsman Sulsel akan mencocokkan kembali dengan memanggil pelapor untuk memastikan keterangan dari Inspektorat.

“Kami juga butuh mengkroscek kepada pelapor untuk menyampaikan pemberitahuan hasil sementara. Pelapor punya hak menyampaikan klarifikasi dan tanggapan terhadap hasilnya,” kata Hasrul.

Dari informasi yang diperoleh, ada 113 ASN NJDM mengaku tidak pernah menandatangani berita acara pelanggaran kode etik. Hal ini disampaikan juru bicara (jubir) ASN nonjob/demosi/mutasi (NJDM) Aruddini.

Hal ini disampaikannya setelah menyoroti tanggapan Inspektorat Sulsel terkait keluarnya kebijakan NJDM, dikarenakan ada tiga item yakni rekonstruksi kelembagaan, evaluasi kinerja, hingga adanya temuan atau laporan hasil pemeriksaan (LHP).

Dia mengatakan, kebijakan NJDM terhadap ratusan ASN itu tidak dilakukan sesuai dengan mekanisme dan prosedur. Tapi langsung menerbitkan keputusan yang merugikan ratusan ASN tak bersalah.

“Dari jumlah ASN NJDM 113 kasus semestinya mekanisme tersebut harus dilalui, diketahui dan ditandatangani bersama serta ditetapkan sebagai ASN yang melanggar kode etik ASN,” jelasnya, Minggu (7/1).

Bahkan, kata dia, 113 ASN lingkup Pemprov Sulsel ini mengaku tidak pernah melakukan pelanggaran dan tidak dilakukan tahapan NJDM melalui mekanisme Norma Standar Prosedur Kriteria (NJDM).
Sesuai keterangan masing-masing, tidak ada pelanggaran dan belum pernah melalui mekanisme NSPK.
Aruddini menyebut, jika ada temuan atau laporan hasil pemeriksaan (LHP) menurut Inspektorat Sulsel sehingga keluarnya kebijakan NJDM itu, tidak dibuktikan hingga saat ini.

“Kalau rekomendasinya hukuman pelanggaran kode etik ASN tetap melalui mekanisme NSPK, dan kami anggap kalau pun ada di antara sejumlah kasus 113 orang kami anggap belum tuntas dan belum dapat menerima hukuman berat (non job demosi),” tegas Aruddini.

Terkait evaluasi kinerja yang jadi pertimbangan terbitnya kebijakan NJDM seperti yang dimaksud Inspektorat Sulsel, juga ditanggapi Aruddini. Kata dia, jika indikator kinerja pada ASN tidak tercapai, maka seharusnya yang terjadi adalah kebijakan mutasi dan penempatan yang sesuai dengan tingkat kemampuan atau alasan teknis lainnya pada posisi yang setara.

“Misalnya pada tugas yang bukan pada indikator kinerja strategis, bukan pemberian hukuman namun masa pembinaan,” ujarnya.

Sedangkan pertimbangan LHP, lanjutnya, ini menyangkut dokumen hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh lembaga auditor. Adapun isi dokumen LHP biasanya temuan ada tiga sifatnya. Pertama, rekomendasi pengembalian anggaran yang ditemukan dapat merugikan negara dan sifatnya mengikat. Hal ini dapat ditimbulkan akibat kelalaian atau unsur kesengajaan.
Kelalaian biasanya rekomendasi pemberian hukuman disiplin bagi pejabat tersebut, disamping pengembalian nilai kerugian keuangan daerah.

Kedua, ada unsur kesengajaan. Biasanya direkomendasikan karena pengembalian nilai kerugian disamping hukuman pasal yang mengarah kepada tindak pidana korupsi. Misalnya kegiatan fiktif dan lainnya.

Ketiga, temuan yang sifatnya pelanggaran atau ketidaklengkapan dokumen administrasi
rekomendasinya adalah melengkapi dokumen pendukung.

“Rekomendasi LHP poin pertama, jika ada atau berbunyi hukuman disiplin berat pejabat tersebut tetap melalui mekanisme pemberian hukuman berat (non job demosi). Rujukan juknis NSPK pembuktian perbuatan hukuman yang ditandatangani dalam berita acara persidangan tim Riksus,” paparnya.

Untuk rekomendasi pada LHP poin kedua, ia mengatakan tindak lanjutnya adalah proses pembuktian melalui mekanisme penetapan tersangka dan oleh aparat hukum.

“Dan seterusnya ditetapkan sebagai tersangka, dan selanjutnya proses hukuman lebih tinggi. Rekomendasi LHP pada poin tiga adalah melengkapi dokumen administrasi dalam waktu ditentukan,” pungkasnya. (jun)

source

Exit mobile version