Divonis Bersalah, Pemprov Belum Sanksi Yarham

MAKASSAR, BKM — Yarham Yasmin yang pernah menjabat Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pendapatan Wilayah Satu pada Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Provinsi Sulawesi Selatan telah dijatuhi vonis tiga bulan dan masa percobaan enam bulan. Ia juga diharuskan membayar denda sebesar Rp4 juta.
Hukuman tersebut merupakan ganjaran terhadap Yarham yang terbukti tidak netral dalam tahapan pilkada serentak di Sulsel. Ia dinyatakan melanggar tindak pidana pemilu dengan mengampanyekan pasangan cagub-cawagub nomor urut dua Andi Sudirman Sulaiman-Fatmawati Rudi.
Penjabat Gubernur Sulsel Zudan Arif Fakrulloh menanggapi datar hal itu. Ia mengatakan, pihaknya menghargai dan mengikuti putusan hakim terhadap Yarham.
“Kami ikuti apa yang menjadi putusan hakim,” kata Prof Zudan, Rabu (20/11).

Kendati begitu, ia tak menanggapi sanksi yang akan diberikan kepada Yarham sebagai ASN dan pejabat nonaktif Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pendapatan Wilayah Makassar Satu.

Sebelumnya, Prof Zudan menyampaikan bahwa dirinya masih menunggu rekomendasi dari Bawaslu Sulsel dan BKN RI berkaitan dengan status kepegawaian Yarham.

“Jadi dalam penjatuhan sanksi setelah terjadi dalam tahapan pilkada itu harus menunggu beberapa langkah rekomendasi Bawaslu dan rekomendasi BKN,” ucapnya.

Terpisah, Ketua Tim Hukum Danny-Azhar (DIA), Akhmad Rianto menilai hukuman kepada Yarham terlalu ringan. Di samping itu, proses persidangan perkara ini dinilai cenderung buru-buru dan tertutup.

“Pertama, persidangan yang dilakukan menurut saya dilakukan dengan sangat cepat dan tertutup. Kedua, putusan majelis hakim memvonis sangat ringan kepada terdakwa. Padahal fakta-fakta persidangan terdakwa sudah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran netralitas ASN pasal 188 juncto Pasal 71 UU Pilkada,” ucap Akhmad, Selasa lalu (19/11).

Menurut Akhmad, putusan majelis hakim ini akan sangat berdampak terhadap posisi ASN dalam kontestasi pilkada Serentak. Putusan ini, kata dia, akan semakin menjerumuskan ASN untuk terlibat langsung dalam politik praktis.

“Karena tidak memberikan efek jera, dan ASN akan melakukan pelanggaran dengan mendukung, mengkampanyekan ataupun yang menguntungkan paslon, karena dianggap hukumannya sangat rendah dan ringan,” sebutnya.

Adapun imbas vonis ringan ini, Akhmad Rianto mengatakan bahwa pihaknya akan mempertimbangkan untuk melaporkan hakim yang mengadili perkara ini ke Komisi Yudisial (KY) dan pengawas hakim Mahkamah Agung (MA).
“Putusan ini sangat mencederai rasa keadilan bagi demokrasi dan rakyat Sulawesi Selatan,” ucapnya.

Terpisah, pengamat politik dari Universitas Hasanuddin (Unhas) Andi Naharuddin mengakui bahwa pasal pidana dan denda yang ditetapkan oleh PN Makassar tidak akan memberikan efek jera.

Menurut dosen politik itu, mesti ada hukuman berlapis berupa sanksi etik yang diberikan kepada ASN. Sebab jika hanya sanksi seperti ini, potensi ke depannya ASN melakukan pelanggaran masih akan terbuka.

“Memberi efek jera atau tidak itu tidak dilihat dari aspek vonis, karena UU juga punya batas maksimal dalam menghukum seseorang. Mestinya jika ASN tidak memiliki efek jera selain hukuman pidana mesti ada hukuman administrasi terkait ketidaknetralannya,” terangnya.

Hukuman administratif ini, kata Naharuddin, bisa berupa penurunan pangkat alias demosi, pemotongan gaji, tidak naik pangkat selama 5 tahun dan masih banyak lagi.

“Ini kan terkait ketidaknetralannya sebagai ASN, harusnya ada hukuman tambahan yang bisa membuat seluruh ASN baik ASN biasa maupun yang punya jabatan untuk berfikir dua kali untuk membuat tindakan mendukung salah satu paslon apakah demosi, penurunan pangkat dua kali dari pangkat sebelumnya,” bebernya.

Selain itu, kata Naharuddin, mesti ada perbaikan dari sisi birokrasi itu sendiri. Banyak dari mereka yang sengaja mendukung sebab takut akan kehilangan jabatan atau menghincar jabatan tertentu.

“Tentu ada maksud ASN mendukung, apakah ingin melanggengkan jabatannya, apakah karena mendapat tekanan dari pejabat di atasnya itu harus diusut,” jelasnya.

Tim penyidik Sentra Penegakan Hukum Terpadu Bawaslu Sulsel Rahmat Hidayat membenarkan vonis yang dijatuhkan kepada Yarman. Namun, dia mengatakan, pihaknya belum menerima salinan putusannya. Sebab, Majelis Hakim PN Makassar masih memberikan waktu tujuh hari kepada kuasa hukum Yarham untuk mempertimbangkan pengajuan banding.

“Intinya tidak ada salinan putusan yang kami terima, karena tim hukumnya masih mempertimbangkan upaya hukum banding atau tidak. Masih pikir-pikir. Bahasanya hakim kemarin itu dikasih waktu tujuh hari. Barang bukti ponsel kemarin itu dirampas untuk negara. Sementara kartu nama salah satu paslon akan dimusnahkan,” pungkasnya. (jun)

source

Leave a Reply