Pemberi dan Penerima Uang Dapat Dipenjara

MAKASSAR, BKM–Masyarakat yang akan menggunakan hak pilihnya pada kontestasi pemilihan bupati (Pilbup) Sinjai sangat banyak yang menunggu politik uang dibanding memilih berdasarkan hati nurani.
Hal ini merujuk pada hasil survei PT General Survey Indonesia (GSI) terkait politik uang. Survei yang dilakukan 1 hingga 10 Oktober, 45,1 persen responden mengaku menerima uang/barang dan memilih calon tersebut, sementara 24,6 persen menolak. Sedangkan 15,7 persen menerima uang/barang namun belum tentu memilih, dan 14,8 persen tidak tahu.

Hasil survei menunjukkan ada 72,5 persen warga yang bersedia menerima uang, berapapun jumlahnya, dengan variasi nilai dari Rp50 ribu hingga Rp250 ribu.
“Untuk preferensi barang, 76,9 persen memilih sembako, sementara pilihan lainnya termasuk mukenah/jilbab, sarung, dan suvenir kecil,”ujar Direktur Riset PT. GSI, Muhammad Ridwan.

Untuk itu, pemilih diingatkan untuk mewaspadai dampak hukum dari praktik politik uang, baik yang memberi maupun menerima, seperti amplop atau barang yang dapat mempengaruhi pilihan.
“Siapapun yang menerima uang atau bingkisan yang mempengaruhi pilihannya, dapat diancam hukuman pidana dan denda,”ungkap Pakar Tata Kelola Pemilu Unhas Dr Andi Lukman dalam diskusi Komunitas Wartawan Politik Sulsel bertema “Pilkada Sinjai, Bisakah Tanpa Money Politik?” di salah satu kafe di Jalan Tamangapa Raya, Sabtu (19/10).

Andi Lukman Irwan, menegaskan pentingnya perhatian pemilih terhadap larangan ini. Ia menyebutkan bahwa Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 mengatur dengan ketat soal politik uang.
Ia mengingatkan pemilih agar tidak terjerat kasus pidana yang bisa dilaporkan masyarakat atau penyelenggara, berujung pada hukuman penjara dan denda.
“Pemilih harus benar-benar melihat rekam jejak, program, dan integritas para calon,”lanjutnya.
Andi Lukman juga menegaskan bahwa kandidat yang menggunakan politik uang menunjukkan kurangnya ide dan kemampuan untuk membangun daerah, serta tidak mampu menawarkan program yang relevan bagi masyarakat.

“Kandidat yang melakukan politik uang biasanya memiliki hubungan sosial yang lemah dengan pemilihnya. Inilah saatnya masyarakat memilih kandidat yang memiliki visi dan program pembangunan yang jelas,”terangnya.

Akademisi Khair Khalis Syurkati, turut mengingatkan bahwa hukuman bagi pelaku politik uang kini lebih berat. Jika sebelumnya dianggap pelanggaran dengan ancaman satu tahun penjara, kini dianggap sebagai kejahatan pemilu dengan ancaman minimal satu tahun dan denda Rp100 juta.
“Jangan sampai demi Rp100 ribu atau Rp150 ribu, Anda harus berhadapan dengan penjara,”ujarnya.

Khair menyarankan tiga langkah utama untuk mengatasi politik uang yakni penguatan aturan dan penegakan hukum, edukasi politik masyarakat, serta peran media massa.
Hingga 2024, tercatat 429 pejabat negara, termasuk gubernur, bupati, dan wali kota, terjerat kasus korupsi dan diproses oleh KPK. Dari jumlah tersebut, 22 adalah gubernur dan 148 adalah bupati atau wali kota. Korupsi yang melibatkan kepala daerah biasanya terkait dengan suap dalam pengadaan barang dan jasa, serta jual beli jabatan.

Terpisah, Bawaslu Gowa menegaskan komitmennya untuk mengambil tindakan tegas terhadap potensi pelanggaran, termasuk pelibatan aparatur desa dalam kampanye Paslon.
Kordiv Penanganan Pelanggaran Bawaslu Gowa Yusnaeni menegaskan bila Paslon yang terbukti melibatkan perangkat desa dalam kampanye akan dikenakan sanksi tegas sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berdasar UU Nomor 10 Tahun 2016 pada Pasal 70 bahwa kampanye Paslon dilarang melibatkan pejabat BUMN/BUMD, ASN, anggota Polri dan anggota TNI. Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah serta perangkat desa atau sebutan lain/perangkat kelurahan.

“Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang yang sama, Cabup dan Cawabup yang dengan sengaja melibatkan pejabat BUMN/BUMD, ASN, anggota Polri dan anggota TNI serta Kepala Desa atau Lurah dan perangkat desa/perangkat kelurahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1), dapat dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu bulan atau paling lama enam bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000 atau paling banyak Rp6.000.000, ” kata Yusnaeni. (rif)

source

Leave a Reply